Fenomena Rojali: Pengunjung Mal yang Jarang Berbelanja
Di tengah ramainya pusat perbelanjaan di kota-kota besar, muncul fenomena yang disebut “Rojali” atau rombongan jarang beli. Fenomena ini menggambarkan pengunjung yang datang ke mal dalam jumlah besar, namun tidak terlalu aktif melakukan transaksi belanja. Meski tampak biasa bagi sebagian orang, fenomena ini menimbulkan berbagai pertanyaan tentang perilaku konsumen dan dampaknya terhadap bisnis.
Banyak anak muda menganggap rojali sebagai hal yang wajar, karena menjadi bagian dari rutinitas harian mereka. Jika tidak ada aturan yang dilanggar, maka tidak salah jika seseorang datang ke mall hanya untuk sekadar jalan-jalan atau mencari hiburan. Meuthia Nafasya (25), seorang karyawan swasta asal Bogor, sering kali pergi ke mall tanpa niat untuk membeli barang. Ia lebih suka jalan-jalan dan melihat-lihat barang lucu sebagai referensi. Terkadang, ia juga datang ke mall untuk makan atau sekadar bersantai.
Hal serupa dialami oleh Karina Rahma (25), seorang karyawan di Jakarta Selatan. Ia sering kali hanya datang ke mall untuk cuci mata, terutama pada akhir bulan. Ia mengatakan bahwa jika ada barang yang cocok, ia akan membelinya setelah mendapatkan gaji. Menurutnya, selama tidak mengganggu pegawai toko, maka sah-sah saja datang ke mall tanpa belanja.
Berbeda dengan Amalia Nauvali (33), seorang ibu rumah tangga yang juga guru. Ia mengaku ke mall biasanya karena ada kebutuhan, tetapi sesekali juga hanya jalan-jalan. Ia menyebut bahwa kadang ia datang ke mall untuk makan, ngadem, atau sekadar jalan-jalan. Baginya, hal itu bisa dianggap sebagai olahraga gratis. Ia juga tidak mempermasalahkan fenomena rojali. Menurutnya, setidaknya para pengunjung tersebut membayar parkir, dan jika tergoda, bisa saja membeli cemilan atau minuman.
Penyebab Munculnya Fenomena Rojali
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bahwa fenomena rojali bukanlah hal baru. Namun, tren ini semakin nyata setelah pandemi Covid-19. Menurutnya, kelas menengah semakin terhimpit oleh biaya hidup, terutama inflasi bahan pangan, harga perumahan, dan suku bunga yang tinggi. Akibatnya, banyak orang lebih memilih ke mall untuk rekreasi atau refreshing, bukan untuk belanja.
Bhima menjelaskan bahwa pendapatan kelas menengah yang tergerus oleh cicilan dan inflasi membuat mereka lebih fokus pada kebutuhan pokok. Di sisi lain, pusat perbelanjaan lebih banyak menawarkan barang sekunder dan tersier seperti produk fesyen dan barang mewah. Karena itu, ke mall seringkali hanya digunakan untuk cuci mata.
Selain tekanan ekonomi, perubahan perilaku belanja akibat kemudahan bertransaksi di toko online juga memperkuat fenomena rojali. Bhima menilai bahwa tren ini akan berlangsung dalam jangka panjang. Ia menyarankan agar pusat perbelanjaan menyesuaikan diri dengan mengubah konsep, misalnya dengan lebih menonjolkan tempat makan, hiburan, dan rekreasi keluarga.
Menurut prediksi Bhima, tren rojali masih akan berlanjut hingga 2026. Faktor-faktor seperti perang dagang, potensi PHK di sektor padat karya, daya beli yang menurun, dan efisiensi belanja pemerintah akan terus mengurangi ruang belanja kelas menengah.
Kelas Menengah Pilih Investasi, Daya Beli Tertekan
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual menilai bahwa fenomena rojali menunjukkan kehati-hatian kelas menengah dalam berbelanja. Mereka lebih memilih instrumen investasi dibanding konsumsi barang. Untuk kelompok berpendapatan rendah, faktor utamanya adalah penurunan daya beli.
David mengingatkan bahwa jika tren ini terus berlanjut, maka bisa memengaruhi pertumbuhan sektor konsumsi. Padahal, sektor ini menyumbang sekitar 60% terhadap perekonomian Indonesia. Dengan demikian, penting bagi pelaku usaha dan pemerintah untuk memahami perubahan perilaku konsumen dan menyiapkan strategi yang tepat untuk menghadapi tantangan ini.