Mengapa Kita Sulit Melepas Barang, Meski Sudah Tidak Terpakai
Banyak dari kita pernah merasa berat hati ketika harus membuang sesuatu, bahkan barang yang sudah rusak atau tidak digunakan selama bertahun-tahun. Ini bukan sekadar masalah malas, tetapi lebih dari itu. Ada alasan psikologis yang mendalam yang membuat seseorang sulit melepaskan barang. Fenomena ini dikenal dengan istilah emotional hoarding, yaitu kebiasaan menyimpan benda karena ikatan emosional, bukan karena fungsinya.
Berikut beberapa alasan umum yang sering muncul dan mungkin kamu temukan dalam dirimu sendiri:
1. “Bagaimana kalau saya membutuhkannya nanti?”
Kecemasan akan kekurangan di masa depan sering kali membuat seseorang menyimpan segala sesuatu, termasuk barang yang sebenarnya tidak penting. Penelitian dari Frontiers in Psychology pada tahun 2024 menunjukkan bahwa ini bisa menjadi bentuk perlindungan mental bagi mereka yang pernah mengalami krisis ekonomi atau hidup dalam ketidakpastian.
2. “Nanti nilainya bisa naik”
Pola pikir kolektor ini sering dipakai sebagai alasan untuk menyimpan barang. Namun, nyatanya hanya sedikit barang yang benar-benar meningkat nilai. Banyak dari mereka justru menjadi tidak bernilai lagi.
3. “Masih enak untuk dimakan kok”
Perilaku ini sering dipicu oleh trauma kemiskinan atau krisis pangan masa kecil. Menyimpan makanan yang sudah tidak layak dikonsumsi bisa menjadi refleksi dari rasa bersalah atas makanan yang terbuang.
4. “Kalau tidak disimpan, nanti cuma jadi sampah”
Beberapa orang merasa lebih baik menyimpan daripada membuang. Padahal, ada banyak komunitas seperti freecycle atau donasi yang bisa membantu mengalirkan barang bekas ke tangan yang tepat.
5. “Saya akan memakainya saat kurus nanti”
Kalimat ini sering diucapkan dengan harapan, tapi justru bisa menjadi penjebak. Menyimpan pakaian lama hanya akan membuat lemari penuh dengan penyesalan.
6. “Ini sudah lama banget sama aku”
Ikatan sejarah personal pada benda, meski rusak, bisa memicu emosi nostalgia. Namun, tidak semua barang perlu disimpan. Pilihlah yang benar-benar memiliki makna, bukan hanya karena usianya yang panjang.
7. “Bagaimana kalau dia balik dan lihat saya sudah buang?”
Alasan ini sering berkaitan dengan kenangan hubungan yang berakhir. Menyimpan hadiah atau kenangan dari mantan bisa membuat seseorang terjebak dalam masa lalu. Melepasnya bukan berarti menghapus memori, tapi memilih untuk berdamai dengannya.
8. “Nanti bisa buat cucu-cucu”
Alasan ini terdengar bijak, tapi teknologi dan standar keselamatan telah berubah. Menyimpan barang bayi atau elektronik lama bisa jadi berbahaya, bukan berguna.
9. “Tapi nanti ini tren lagi”
Mode memang berputar, tapi jika barangnya sudah usang, berubah warna, atau tidak muat, tren tidak akan membantu. Lebih baik cintai ruang kosong di lemari untuk gaya baru.
10. “Saya bisa perbaiki kok nanti”
Jika kamu bukan ahli perbaikan, barang rusak akan tetap rusak. Menunda-nunda memperbaiki sama saja dengan menunda kelegaan mental yang seharusnya kamu dapatkan.
11. “Ini satu-satunya kenangan aku tentang dia”
Kenangan bisa hidup dalam bentuk lain, seperti foto, jurnal, atau bahkan hanya dalam hati. Menyimpan semua barang dari orang tersayang yang sudah tiada justru bisa menghambat proses penyembuhan.
Kesulitan melepas barang bukan hanya soal malas, tetapi juga melibatkan psikologi mendalam, trauma, rasa bersalah, ketakutan, dan keterikatan. Dengan memahami alasan di balik kebiasaan ini, serta menggunakan strategi seperti cognitive behavioral therapy (CBT) ringan, teknik kategori, dan digitalisasi memori, kita bisa menciptakan ruang hidup yang lebih sehat, rapi, dan pikiran yang lebih ringan.







